Beranda | Artikel
Ikhtilath (Bercampur Baur Antara Pria dan Wanita yang Bukan Mahram) dan Bahayanya
Rabu, 1 Februari 2006

MENCARI ILMU BAGI KAUM WANITA

Pasal 6
Ikhtilath (Bercampur Baur antara Pria dan Wanita yang Bukan Mahram) dan Bahayanya
Sesungguhnya seruan yang mengajak wanita untuk terjun langsung dan bekerja di lapangan kerja kaum laki-laki itu menyeret kepada ikhtilath, baik itu dilakukan secara terang-terangan maupun hanya melalui isyarat dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan tuntutan zaman sekaligus konsekuensi kemajuan peradaban, merupakan masalah yang sangat berbahaya sekali. Dimana hal ini memiliki dampak yang sangat buruk sekali dan juga nilai dan akibat yang sangat pahit. Selain itu ia juga bertentangan dengan nash-nash syari’at yang menyuruh wanita untuk tetap berada di rumah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan khusus di rumah dan yang semisalnya.

Bagi yang ingin mengetahui berbagai kerusakan yang tidak terhingga yang diakibatkan oleh ikhtilath, maka hendaklah dia melihat masyarakat-masyarakat yang terjerembab ke dalam musibah yang dahsyat ini, baik secara suka rela maupun terpaksa secara obyektif dan tujuan mencari kebenaran semata, niscaya dia akan mendapatkan kehancuran dalam tingkatan individual maupun kolektif. Juga menjauhnya wanita dari rumah dan porak-porandanya keluarga.

Dan hal itu dapat kita saksikan dengan jelas melalui ungkapan banyak penulis melalui berbagai sarana informasi. Hal itu tidak lain, melainkan karena hal tersebut merusak masyarakat sekaligus menghancurkan tatanannya.

Dalil-dalil shahih lagi jelas yang menunjukkan diharamkannya khulwah (berdua-duaan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga diharamkannya memandang wanita serta diharamkannya berbagai sarana yang mengantarkan manusia untuk melakukan hal-hal yang diharamkan Allah, cukup banyak dalil-dalil yang semuanya mengharamkan ikhtilath, karena ia dapat mengakibatkan hasil yang tidak terpuji.[1]

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا﴿٣٣﴾وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu). Se-sungguhnya Allah adalah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab/33: 33-34]

Dia juga berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴿٣٠﴾وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah me-reka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nam-pak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka…” [An-Nuur/24: 30-31]

Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya ‘alaihisshalatu wassalam untuk menyampaikan kepada orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan untuk senantiasa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dari zina. Selanjutnya, Allah Subhanahnu wa Ta’ala menjelaskan bahwa hal tersebut lebih suci bagi mereka. Sebagai-mana diketahui bersama bahwa menjaga kemaluan dari perbuatan keji hanya dapat dilakukan dengan menghindari berbagai sarananya. Dan tidak diragukan lagi bahwa mengumbar pandangan serta ber-baur (ikhtilath) antara kaum wanita dan kaum laki-laki atau kaum laki-laki dengan kaum wanita di berbagai lapangan pekerjaan dan juga yang lainnya merupakan sarana yang mengantar kepada terjadinya perbuatan keji. Kedua hal tersebut yang dituntut dari seorang mukmin, yang mustahil untuk dia wujudkan selama dia masih bekerja bersama wanita yang bukan mahramnya, baik itu sebagai teman maupun rekan kerjanya. Tidak diragukan lagi, keterlibatan keduanya di suatu lapangan pekerjaan merupakan masalah yang mustahil untuk melakukan ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan), menjaga kemaluan, dan pencapaian kesucian diri.[2]

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ.

Janganlah kalian masuk (ke tempat) wanita (yang bukan mahram).

Lalu seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan al-hamwu (ipar)?” Beliau menjawab, “Al-Hamwu itu kematian.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ: اِرْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.

Janganlah salah seorang di antara kalian berkhulwah (menyendiri) dengan seorang perempuan, kecuali bersama dengan laki-laki mahramnya.” Lalu ada seseorang berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, isteriku pergi untuk menunaikan ibadah haji sementara aku ikut bergabung dalam perang ini dan itu.” Maka beliau bersabda, “Kembali dan tunaikanlah haji bersama isterimu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya ada sejumlah orang dari Bani Hasyim masuk menemui Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar ash-Shiddiq masuk -yang ia (Asma’) berada di bawah kekuasaannya (isteri) pada saat itu-, lalu Abu Bakar melihat mereka sehingga dia membenci hal tersebut. Kemudian dia menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berucap, “Aku tidak melihat, kecuali kebaikan.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah membebaskan Asma’ dari hal itu.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya berucap:

لاَ يَدْخُلُ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ.

Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki setelah hari ini untuk masuk menemui wanita yang ditinggal pergi suaminya, kecuali bersamanya seorang laki-laki atau berdua.” [HR. Muslim].

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada bersamanya -sementara di dalam rumah terdapat waria-. Lalu waria itu berkata kepada saudara laki-laki Ummu Salamah ‘Abdullah bin Abi Umayyah, “Jika Allah membebaskan Thaif untuk kalian kelak, aku beritahu kepadamu puteri Ghailan, dimana dia meng-hadapi empat hal dan membelakangi delapan hal.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكُنَّ.

Jangan sekali-kali orang ini (waria) masuk ke tempat kalian.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Dari Usamah bin Zaid  Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.

Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi laki-laki melebihi wanita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُـمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ.

Sesungguhnya dunia ini manis lagi enak di pandang. Dan sesungguhnya Allah telah mengangkat kalian sebagai khalifah di muka bumi, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Oleh karena itu, takutlah akan dunia dan takut pula akan wanita, karena fitnah Bani Israil yang pertama kali ada pada wanita.” [HR. Muslim].

Menyuruh wanita keluar dari rumah yang menjadi kerajaan sekaligus sebagai titik awal kehidupannya di dalam kehidupan ini, berarti mengeluarkannya dari apa yang menjadi tuntutan fithrah dan tabi’atnya yang telah diciptakan oleh Allah baginya. Dengan demikian, ajakan agar wanita terjun ke berbagai lapangan pekerjaan yang khusus bagi laki-laki merupakan masalah yang cukup berbahaya bagi masyarakat Islam. Dan di antara bahayanya yang paling besar adalah ikhktilath yang dianggap sebagai sarana yang ampuh untuk menyeret kepada perzinaan yang dapat menimbulkan kekacauan masyarakat sekaligus menghancurkan nilai dan norma-nor-manya.

Sebagaimana telah diketahui bahwa Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah memberikan kepada wanita struktur tubuh yang khusus yang berbeda dengan struktur tubuh laki-laki. Wanita dipersiapkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah dan pekerjaan-pekerjaan yang ada di kalangan mereka. Dan itu berarti bahwa menceburkan wanita ke lapangan pekerjaan yang khusus bagi laki-laki dianggap sebagai upaya mengeluarkannya dari struktur dan tabi’atnya.

Dan hal tersebut jelas sebagai tindak kejahatan yang cukup serius terhadap wanita, penghilangan terhadap fungsinya, sekaligus perusakan terhadap kepribadiannya. Dan hal itu jelas berpengaruh terhadap anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka kehilangan pendidikan, kasih sayang, dan kelembutan.

Dan yang menjalankan peran dan tugas ini adalah ibu yang telah dipisahkan dari “kerajaan”nya yang dia tidak dapatkan ketenangan, kebahagiaan, dan kemantapan, kecuali didalamnya. Sedangkan realitas yang dialami masyarakat sekarang ini merupakan bukti yang paling nyata atas apa yang kami katakan.

Telah kami kemukakan dalil-dalil syari’at dan juga realitas nyata yang menunjukkan diharamkannya ikhtilath serta keterli-batan wanita dalam pekerjaan laki-laki yang kami anggap memadai serta memuaskan pencari kebaikan. Tetapi melihat beberapa orang yang lebih banyak memanfaatkan ungkapan orang-orang barat mau-pun timur daripada firman Allah Ta’ala dan juga para ulama, maka kami berpandangan untuk menukil bagi mereka tulisan yang me-muat pengakuan orang-orang barat dan timur tentang bahaya dan dampak buruk ikhtilath. Mudah-mudahan mereka puas dengan hal tersebut dan mengetahui apa yang dibawa oleh agama (yang agung) mereka berupa pelarangan ikhtilath, yang ia tidak lain ada-lah kemuliaan dan pemeliharaan terhadap wanita dari berbagai macam sarana yang berbahaya bagi mereka sekaligus merusak ke-hormatan mereka.

Seorang penulis berkebangsaan Inggris, Lady Cook mengatakan, “Ikhtilath ‘pembauran laki-laki dan perempuan’ bisa menjinakkan laki-laki. Oleh karena itu, ada wanita yang menginginkan apa yang bertentangan dengan fithrahnya. Dan dengan banyak ikhtilath, maka semakin menjamur pula anak-anak hasil perzinaan. Dan di sinilah letak bencana yang besar bagi wanita.” Hingga akhirnya dia mengatakan, “Oleh karena itu, ajari mereka untuk menjauhi laki-laki dan beritahukan kepada mereka akan akibat tipu daya orang yang terselubung.”

Samuel Smails, seorang yang berkebangsaan Inggris mengatakan, “Tata aturan yang mempekerjakan kaum wanita di berbagai tempat kerja meskipun menjadi sumber penghasilan bagi negara, tetapi akibatnya sangat buruk, yaitu merusak tatanan kehidupan rumah, karena hal tersebut merusakan kerangka kehidupan rumah. Selain itu, hal itu juga menghancurkan sendi-sendi keluarga sekaligus mengoyak tali ikatan sosial. Sebab, hal tersebut telah merampas wanita dari suami dan anak-anaknya serta karib kerabatnya. Dan hal itu secara khusus tidak memberikan nilai sama sekali, kecuali penurunan akhlak wanita, karena tugas wanita yang sebenarnya adalah menunaikan berbagai tugas rumah, misalnya menertibkan tempat tinggal, mendidik anak, serta berhemat dalam memanfaatkan berbagai sarana kehidupan dengan memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.

Akan tetapi tempat kerja justru merampas dirinya dari semua tugas tersebut, dimana rumahnya menjadi bukan rumah lagi, anak-anaknya pun tumbuh besar tanpa pendidikan dan bahkan dicampakkan tanpa perhatian. Selain itu, cinta suami isteri menjadi padam dan wanita telah keluar dari perannya sebagai isteri dalam pengertian sebagai penghibur, teman, dan curahan cinta bagi suami. Dan akhirnya ia menjadi partner (suaminya) dalam pekerjaaan dan menjalankan tugas berat. Selain itu, dia telah membuka diri bagi masuknya berbagai pengaruh yang seringkali menghapus pemikiran tawadhu’ dan moral yang menjadi poros penjagaan kemuliaan.”

Dan jika kita hendak menghitung apa yang dikemukakan oleh para penulis barat mengenai bahaya ikhtilath yang merupakan akibat dari terjunnya wanita ke lapangan kerja kaum pria, niscaya kita akan membutuhkan waktu yang panjang. Tetapi, contoh di atas sudah cukup untuk mewakilinya.[3]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
_______
Footnote
[1] Al-Hijaab was Sufuur, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, hal. 21
[2] Al-Hijaab wa as-Sufuur, oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, hal. 24.
[3] Diringkas dari kitab Hijaab was Sufuur fil Kitab was Sunnah, Syaikh Ibnu Baaz, hal. 21.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1752-ikhtilath-bercampur-baur-antara-pria-dan-wanita-yang-bukan-mahram-dan-bahayanya.html